Kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Namun, seringkali kebudayaan hanya bermakna atau berkatan dengan bidang seni. Sebaliknya, segala hal yang berkaitan dengan perilaku manusia dalam kehidupannya bisa dikategorikan sebagai kebudayaan.
Tulisan ini akan mendeskripsikan hasil berupa gambaran lengkap mengenai kehidupan suatu masyarakat tertentu di dalam sistem bahasa, agama, kekerabatan/organisasi sosial, sistem pengetahuan lokal, ekonomi, dan kesenian, khususnya di Desa Sumbersari.
1. Sistem Religi
Mayoritas agama masyarakat Desa Sumbersari adalah Islam. Hal ini ditandai adanya eksistensi masyarakat dalam mempertahankan tradisi keagamaan, seperti tradisi ziarah, yasinan dan tahlilan. Selain itu, masih banyak tradisi keislaman yang sampai saat ini berkembang di masyarakat Desa Sumbersari, tradisi tersebut memiliki kepercayaan atau pemahaman keagamaan yang menekankan tradisi kejawen. Hal ini ditandai dengan berlangsungnya tradisi selametan dengan mengadakan kenduri tumpengan dan kirim doa untuk para leluhur. Selametan tersebut sendiri merupakan cara agama yang paling umum untuk melambangkan persatuan mistik dan sosial orang yang datang dalam acara kirim doa terhadap ruh-ruh leluhur. Selain mempercayai keberadaan ruh leluhur juga mempercayai adanya penjaga teritorial (wilayah) seperti penjaga sumber air, penjaga bumi, penjaga pertanian dan sebagainya.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Sedangkan kepercayaan mengirimkan doa, terwujud dalam upacara kematian dengan mengadakan selametan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari. Hal ini masih dilakukan masyarakat karena mereka meyakini doa yang mereka panjatkan kepada Tuhan untuk orang yang sudah meninggal akan sampai.
2. Sistem Bahasa
Menurut Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem perlambangan manusia secara lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi-variasi dari bahasa itu. Masalah dialek atau logat bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi antara berbagai masyarakat yang tinggal di satu rumpun atau satu daerah seperti Jawa. Dalam kehidupan masyarakat Desa Sumbersari, bahasa Jawa yang digunakan rata-rata akulturasi dialek Solo dan Yogyakarta. Namun secara umum, bahasa Jawa yang digunakan berbeda-beda tingkatannya ada bahasa ngoko (terdiri ngoko lugu dan ngoko alus) dan bahasa kromo (terdiri dari kromo lugu dan kromo inggil).
3. Sistem Kekerabatan
Secara umum, masyarakat Desa Sumbersari menerapkan prinsip eksogami didalam pernikahannya (memilih calon pasangan yang berasal dari luar kerabat). Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pengetahuan lokal masyarakat mengenai larangan menikah dengan seseorang yang masih satu rumpun keturunan. Menurut Mbah Raden Timbul, Tokoh Sesepuh Desa Sumbersari (Lurah Kedua Desa Sumbersari), biasanya perjodohan atau kehidupan rumah tangga seperti tidak akan berlangsung dengan lama. Begitu pun pada saat melaksanakan perkawinan, jika kedua kakak beradik dinikahkan dalam satu waktu yang bersamaan, maka akan ada salah satu diantaranya yang tidak langgeng dalam kekeluargaannya. Meskipun demikian, masih ada beberapa yang menganut prinsip endogami –mengambil jodoh ideal dari yang serumpun- baik keturunan bangsawan maupun satu trah garis nenek moyang. Hal ini terjadi karena adanya alasan sebagai upaya menjaga menjaga kemurnian darah kebangsawanan, harta dan kedudukan keluarga yang bersangkutan.
Sedangkan disisi lain, walaupun saat ini masyarakat Jawa sudah mulai meninggalkan kebiasaan mencari jodoh ideal yang berasal dari satu kerabat dan mulai mencari jodoh di luar kerabatnya sendiri. Namun, ditinjau dari hubungan kekerabatannya, masyarakat Desa Sumbersari masih menerapkan konsep keluarga luas yang dilihat garis keturunan atau tali persaudaraan antara satu dengan lainnya.
4. Sistem Mata Pencaharian
Perubahan sistem penghidupan masyarakat pedesaan dilatarbelakangi adanya peningkatan sumber pendapatan masyarakat pedesaan, jika dahulu sumber pendapatan masyarakat sangat terbatas pada sektor pertanian, berubah dan bertambah banyak di luar sektor pertanian dan dapat dilakukan di luar desa (pabrik dan jasa). Dengan bertambahnya sumber nafkah tersebut, alternatif strategi nafkah yang dapat menjadi pilihan rumah tangga masyarakat pedesaan juga semakin beragam. Dengan berubahnya atau bertambahnya strategi nafkah rumah tangga memperlihatkan bahwa sistem mata pencaharian masyarakat pedesaan mengalami perubahan.
Meskipun demikian, masyarakat Desa Sumbersari kebanyakan bekerja di bidang pertanian, baik sebagai petani pemilik maupun petani penggarap dengan sistem patron-kliennya yang masih tetap terikat hubungannya yang saling membutuhkan.
5. Sistem Peralatan Hidup
Secara khusus, nenek moyang masyarakat Jawa memiliki pengetahuan cara bercocok tanam di lahan pertanian dan memiliki alat pertanian tradisional yang diwariskan secara turun temurun, yang masih sederhana sifatnya, digunakan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun dan merupakan bagian dari sistem teknologi yang mereka miliki menurut konsepsi kebudayaannya. Misalnya, cara membajak menggunakan hewan kerbau serta alat-alat pertanian seperti luku, garu, gathul, dan garuk/garpu.
Namun, seiring berjalannya waktu, tentu ada perkembangan dan peralihan alat pertanian untuk membantu meningkatkan produksi pertanian. Hal ini ditandai adanya penggunaan alat-alat modern seperti bajak mesin dan jenis tanaman yang mayoritas berumur singkat seperti padi jenis IR. Meskipun demikian, tidak semua masyarakat Desa Sumbersari menggunakan alat-alat modern tersebut, mengingat kontur tanah dan persawahan di wilayah Sumbersari ini menerapkan sistem terasmiring.
Arus modernisasi tersebut ternyata berdampak juga didalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Desa Sumbersari, khususnya, mulai meninggalkan alat-alat pertanian tradisional yang sebenarnya dipandang penting dibalik nama alat-alat itu terdapat khazanah budaya (makna filosofi) yang adiluhung. Berikut beberapa nama alat-alat tradisional masyarakat Jawa yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang diantaranya:
6. Sistem Pengetahuan Lokal
Pengetahuan lokal menurut Geertz (2003) adalah konsep-konsep yang bersumber dari fakta-fakta dan hukum-hukum sosial yang diwariskan secara kultural membentuk perilaku. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman adaptasi secara aktif diwariskan secara turun temurun menjadi kearifan lingkungan yang terbukti secara efisien dalam pelestarian fungsi lingkungan dan penciptaan keserasian sosial. Kearifan tentang lingkungan tersebut diwujudkan dalam bentuk ide (norma, nilai, mitologi, dan cerita rakyat), aktivitas sosial (interaksi sosial, upacara adat keagamaan, pola permukiman) dan teknologi pengelolaan lingkungan yang berupa peralatan.
Sebagai masyarakat desa yang mayoritas bermata pencaharian petani dan buruh tani, sistem pengetahuan masyarakat Desa Sumbersari umumnya diperoleh dari nenek moyang mereka terdahulu, baik dalam bentuk lisan maupun tulis. Pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk lisan biasanya disampaikan dari mulut ke mulut dan pada waktu dan situasi tertentu. Salah satunya yang tidak akan pernah luput didalam pikiran masyarakat adalah pengetahuan mengenai sistem pranatamangsa.
Pengertian Pranatamangsa sendiri merupakan sistem kalender pertanian tradisional yang sejak dahulu telah digunakan oleh nenek moyang untuk menjalankan aktivitas pertaniannya. pranatamangsa dalam masyarakat Jawa sudah digunakan sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sistem Pranatamangsa digunakan untuk menentukan kaitan antara tingkat curah hujan dengan kemarau. Pranatmangsa terdiri dari 12 Mangsa dimana mangsa 1 dimulai dari bulan Juli. Dari bulan Juli sampai Desember (Mangsa 1-6) menghadapi musim penghujan, sementara dari bulan Desember sampai Juli menghadapi musim kemarau. Berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal Desa Sumbersari, pada bulan Juli ketika masih musim kemarau (baca: sedang panas-panasnya), biasanya ditandai dengan banyaknya anak-anak yang sakit.
Selain berkaitan kalender musim seperti yang telah dijelaskan diatas, Pranatamangsa juga meliputi berbagai pengetahuan lainnya, misalnya pada saat mangsa sekian, aturan yang baik untuk ditanami adalah jenis tamanan tertentu. Melalui sistem tersebut, para petani akan mengetahui kapan saat mulai mengolah tanah, saat menanam, dan saat memanen hasil pertaniannya karena semua aktivitas pertaniannya didasarkan pada siklus peristiwa alam. Sumber pengetahuan seperti ini memang didapatkan dari pengalaman yang telah dilaluinya selama bertahun-tahun, seperti ramalan-ramalan cuaca baik dan buruk setiap tahunnya dan waktu yang tepat untuk memulai bercocok tanam.
Ada pula pengetahuan lokal lain yang berkaitan dengan larangan (pantangan yang masih diperhatikan oleh masyarakat Desa Sumbersari, misalnya tidak boleh menyapu di malam kliwon dan sebagainya.
7. Sistem Kesenian
Secara umum, setiap wilayah pasti memiliki kesenian yang dilestarikan turun-temurun, seperti di Desa Sumbersari, kesenian yang masih eksis hingga saat ini ialah kesenian Jaran Kepang atau Kuda Lumping yang diinisasi oleh Bapak Susanto, selaku Ketua Paguyuban Tridoyo Gadung Melati.
Kesenian Jaran Kepang di Sumbersari awalnya hanya ada di Padukuhan Ngadimerto. Pada saat itu, senior-senior penggerak Jaran Kepang di Sumbersari mengadakan perkumpulan untuk bermusyawarah membahas keberlanjutan kesenian Jaran Kepang. Sebagai upaya melestarian kesenian nenek moyang ini, satu-satunya cara kesenian Jaran Kepang lebih baik digerakkan oleh para pemuda dan ditunjuklah Susanto sebagai Ketua Muda Jaran Kepang Desa Sumbersari. Kemudian dibentuklah nama paguyuban kesenian Jaran Kepang “Tridoyo Gadung Melati” dan diresmikan asal-mulanya dari 3 Pedukuhan yakni Batang, Ngadimerto, dan Krumpyung. Arti kata “Tridoyo” memiliki arti yaitu Kekuatan 3 Pedukuhan, sedangkan “Gadung Melati” diambil dari nama pepunden Ngadimerto. Hal tersebut yang menjadikan sejarah kesenian Jaran Kepang Desa Sumbersari ini dinobatkan sebagai kesenian tertua di Purworejo yang berdiri sejak tahun 1960-an.
Kesenian Jaran Kepang didalam pelaksanaannya sendiri memang diidentikkan dengan “mendem” atau kerasukan. Dahulu, ada persyaratan untuk mendapat semacam kesaktian, misalnya diharuskan untuk berpuasa dan kuat prihatin. Namun, secara umum, proses seseorang untuk bisa mencapai “trance” (mendem) itu, menurut Pak Santo, dilihat dari beberapa hal diantaranya: (1) “pakaian” seseorang tersebut bersih atau tidak, (2) bersifat apa adanya atau sederhana dan prihatin, dan (3) memiliki jiwa seni yang kuat.
Untuk menjaga eksistensinya di tengah era modernisasi yang semakin berkembang ini agar tidak punah, Paguyuban Tridoyo Gadung Melati memiliki anggota aktif sebanyak 40 orang yang didominasi oleh kalangan remaja. Upaya model tariannya pun dikreasikan sangat sederhana dan klasik. Hal tersebut menjadi alasan pula bahwa masyarakat Purworejo lebih menyukai kesenian asal Desa Sumbersari untuk diundang ke berbagai pagelaran baik untuk acara event kabupaten, acara desa lain, acara agustusan dan lain sebagainya.