Berdasarkan Laporan Penimbangan Tingkat Posyandu Desa Sumbersari, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, per Juni 2022, terdapat 21 kasus balita stunting. Dari 21 balita stunting tersebut, ditemukan 15 balita bukan berasal dari keluarga miskin (non gakin). Singkatnya, orang tua balita tersebut memiliki kondisi ekonomi yang cukup mampu.
Maka, secara nyata akan tampak bahwa pemenuhan gizi balita yang seharusnya bisa terpenuhi dengan kondisi ekonomi keluarga yang mampu, ternyata tidaklah cukup membuktikan bahwa ekonomi yang baik turut berperan dalam pemenuhan gizi balita. Hal ini disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang ukup lama akibat orang tua/keluarga tidak tahu dan belum sadar untuk memberikan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi anaknya.
Meskupun program pemerintah dalam penanggulangan masalah gizi pada balita sudah cukup banyak dan terstruktur. Namun, pada kenyataannya, kasus kejadian balita stunting masih banyak dijumpai pada masyarakat dengan karakteristik sosial budaya dan ekonomi di level manapun.
Jika ditinjau dari segi sosial budaya masyarakat, hal tersebut bisa terjadi karena perbedaan makna antara komunitas satu dengan yang lain. Ketika balita pendek (stunting) dipandang oleh masyarakat bukan sebagai masalah dalam perkembangan kesehatan balita, maka prioritas dalam pola pengasuhan bisa menjadi berbeda dalam pemenuhan kebutuhan gizi balita.
Oleh karena itu, untuk memperjelas bahwa kejadian gizi buruk pada balita sebagai suatu fenomena kesehatan bukan merupakan akibat yang berdiri sendiri dan tidak hanya urusan kesehatan saja, mahasiswi KKN UNDIP Tim 2 Tahun 2021/2022, Radhita Alviani, mendapat kesempatan dari Bidan Desa untuk menjadi Pemateri pada Kelas Ibu dan Balita di Aula Balai Desa Sumbersari (28/7/2022) yang dihadiri oleh kelompok sasaran Ibu dan Balita Stunting, Kader Kesehatan Desa, serta satu Dokter Puskesmas Banyuurip.
Berdasarkan pemaparan yang disampaikan olehnya, ada beberapa konstruksi sosial yang berkaitan erat dengan balita stunting, baik ditinjau dari pola asuh dan pemenuhan gizi anak, maupun pemaknaan sehat/sakit pada balita.
Misalnya, dari segi pengetahuan gizi balita di perdesaan, pengetahuan bahwa balita mereka memiliki gizi bermasalah bisa diterima oleh ibu dan anggota keluarga yang lain. Namun, pengetahuan mengenai makanan sehat untuk anaknya tidak masuk dalam koridor nilai yang dianggap berharga oleh mereka.
Adanya pemahaman atas apa yang dianggap paling bernilai dalam kepemilikan atas modal ekonomi. Hal ini berdampak pada orientasi utama dalam kehidupan mereka, apa yang terlihat secara fisik nyata dianggap sebagai investasi jangka panjang dan kebanggaan. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kecukupan gizi anak balitanya.
Sementara, dilihat dari konstruksi sosial mengenai pengetahuan tentang balita stunting, terdapat anggapan bahwa anak yang pendek asal bisa beraktivitas seperti biasa masih dianggap sehat serta kurangnya kesadaran mengenai anaknya yang pendek dan kekurangan gizi, sehingga menganggap pola pemberian makan kepada anaknya pun dalam taraf cukup.
"Dengan gambaran konstruksi sosial suatu masyarakat yang terkait erat dengan fenomena kejadian balita stunting ini, maka masalah sebenarnya yang menjadi masalah adalah mengapa terjadi gizi buruk dan balita stunting ditemukan. Bukan karea minimnya anggaran atau kurangnya tenaga kesehatan. Namun, lebih kepada perbedaan komunkasi dan pemaknaan sosial yang ada di masyarakat", ujar Radhita.
Kegiatan ini berjalan dengan baik dan mendapat usalan dari Bidan Desa terkait permasalahan yang sering terjadi pada orang tua balita stunting.
Harapannya, melalui penyampaian informasi tersebut sebaai sarana interaksi dan negoisasi untuk menentukan objektivitas didalam pemahaman makna-makna yang berbeda dari tiap individu masyarakat, khususnya orang tua balita stunting, sehingga dapat memunculkan suatu kesadaran bersama.